REVOLUSI
MENTAL ALA BUNG KARNO
Gagasan
‘revolusi mental’ menggoda banyak orang. Bagi mereka, revolusi mental
dibutuhkan untuk membabat habis mentalitas, mindset, dan segala bentuk praktik
buruk yang sudah mendarah-daging sejak jaman Orde Baru hingga sekarang. Namun,
tidak sedikit pula yang mencibir gagasan ini sebagai ‘ide komunistik’.
Gagasan
revolusi mental, sebagai usaha memperharui corak berpikir dan bertindak suatu
masyarakat, bisa ditemukan di ideologi dan agama manapun. Dalam Islam pun ada
gagasan revolusi mental, yakni konsep ‘kembali ke fitrah’: kembali suci atau
tanpa dosa. Jadi, gagasan ini bukanlah produk komunis atau ideologi-ideologi
yang berafiliasi dengan marxisme.
Namun, terlepas dari polemik
itu, Pemilu Presiden (Pilpres) 2014 ini patut diapresiasi. Sebab, bukan hanya
berhasil mencuatkan kembali nama dan figur Bung Karno, tetapi juga berhasil
mempopulerkan kembali gagasan-gagasan revolusi nasional Indonesia. Salah
satunya: Revolusi Mental.
Dalam revolusi nasional
Indonesia, gagagasan revolusi mental memang tidak bisa dipisahkan dari Bung
Karno. Dialah yang menjadi pencetus dan pengonsepnya. Dia pula yang mendorong
habis-habisan agar konsep ini menjadi aspek penting dalam pelaksanaan dan
penuntasan revolusi nasional Indonesia.
Saya kira, sebelum mengulas
esensi revolusi mental versi Bung Karno, kita perlu mengenal konteks
sosial-historis yang melahirkan gagasan Bung Karno tersebut. Sebab, tanpa
mengenal konteks sosial-historisnya, kita juga akan bias menangkap esensi dan
tujuan dari gagasan tersebut.
Gagasan
revolusi mental mulai dikumandangkan oleh Bung Karno di pertengahan tahun
1950-an. Tepatnya di tahun 1957. Saat itu revolusi nasional Indonesia sedang
‘mandek’. Padahal, tujuan dari revolusi itu belum tercapai.
Ada
beberapa faktor yang menyebabkan revolusi itu mandek. Pertama, terjadinya
penurunan semangat dan jiwa revolusioner para pelaku revolusi, baik rakyat
maupun pemimpin nasional. Situasi semacam itu memang biasa terjadi. Kata Bung
Karno, di masa perang pembebasan (liberation), semua orang bisa menjadi patriot
atau pejuang. Namun, ketika era perang pembebasan sudah selesai, gelora atau
militansi revolusioner itu menurun.
Kedua,
banyak pemimpin politik Indonesia kala itu yang masih mengidap penyakit mental
warisan kolonial, seperti “hollands denken” (gaya berpikir meniru penjajah
Belanda). Penyakit mental tersebut
mencegah para pemimpin tersebut mengambil sikap progressif dan tindakan
revolusioner dalam rangka menuntaskan revolusi nasional.
Sementara
di kalangan rakyat Indonesia, sebagai akibat praktek kolonialisme selama
ratusan tahun, muncul mentalitas ‘nrimo’ dan kehilangan kepercayaan diri
(inferiority complex) di hadapan penjajah.
Ketiga,
terjadinya ‘penyelewengan-penyelewengan’ di lapangan ekonomi, politik, dan
kebudayaan. Penyelewengan-penyelewengan tersebut dipicu oleh penyakit mental
rendah diri dan tidak percaya diri dengan kemampuan sendiri. Juga dipicu oleh
alam berpikir liberal, statis, dan textbook-thinkers(berpikir berdasarkan apa
yang dituliskan di dalam buku-buku).
Di
lapangan ekonomi, hingga pertengahan 1950-an, sektor-sektor ekonomi Indonesia
masih dikuasai oleh modal Belanda dan asing lainnya. Akibatnya, sebagian besar
kekayaan nasional kita mengalir keluar. Padahal, untuk membangun ekonomi
nasional yang mandiri dan merdeka, struktur ekonomi kolonial tersebut mutlak
harus dilikuidasi.
Namun,
upaya melikuidasi struktur ekonomi nasional itu diganjal oleh sejumlah pemimpin
politik dan ahli ekonomi yang mengidap penyakit rendah diri
(minderwaardigheid-complex). Bagi mereka, Indonesia yang baru merdeka belum
punya modal dan kemampuan untuk mengelola sendiri kekayaan alamnya. Karena itu,
mereka menganjurkan kerjasama dengan negara-negara barat dan sebuah kebijakan
ekonomi yang toleran terhadap modal asing.
Di
lapangan politik, Indonesia kala itu mengadopsi demokrasi liberal yang
berazaskan “free fight liberalism”. Alam politik liberal itu menyuburkan
perilaku politik ego-sentrisme, yakni politik yang menonjolkan kepentingan
perseorangan, golongan, partai, suku, dan kedaerahan. “Dulu jiwa kita
dikhidmati oleh tekad: aku buat kita semua. Sekarang: aku buat aku!” keluh Bung Karno.
Demokrasi liberal ini juga
menyebabkan ketidakstabilan politik dan perpecahan nasional. Akibatnya, dalam
periode demokrasi liberal antara tahun 1950 hingga 1959, terjadi 7 kali
pergantian pemerintahan/kabinet. Tak hanya itu, gerakan separatisme dan
fundamentalisme juga menguat kala itu.
Bung Karno menyebut
demokrasi liberal sebagai “hantam-kromo”; bebas mengkritik, bebas mengejek, dan
bebas mencemooh. Di sini Bung Karno tidak alergi dengan kebebasan menyatakan
pendapat dan melancarkan kritik. Namun, menurut dia, setiap kebebasan mestilah
punya batas, yakni kepentingan rakyat dan keselamatan negara.
Di lapangan kebudayaan
merebak penyakit individualisme, nihilisme dan sinisme. Kebudayaan tersebut
membunuh kepribadian nasional bangsa Indonesia yang berdasarkan kolektivisme
dan gotong-royong. Tak hanya itu, kebudayaan feodal dan imperialistik juga
bergerilya menanamkan jiwa pengecut, penakut, lemah, dan tidak percaya diri
kepada rakyat Indonesia dalam bertindak dan berbuat.
Itulah yang dihadapi oleh
revolusi nasional saat itu. Dan, di mata Bung Karno, sebagian besar rintangan
terhadap revolusi di atas bersumber pada corak berpikir dan bertindak yang
bertolak-belakang dengan semangat kemajuan. Jadi, revolusi mental ala Bung
Karno itu sangat dipengaruhi oleh konteks ekonomi-politik jaman itu. Revolusi
mental-nya juga tidak diisolir dari perjuangan mengubah struktur
ekonomi-politik kala itu.
Karena itu, Bung Karno
menyerukan perlunya “Revolusi Mental”. Dia mengatakan, “karena itu maka untuk
keselamatan bangsa dan negara, terutama dalam taraf nation building dengan
segala bahayanya dan segala godaan-godaannya itu, diperlukan satu Revolusi
Mental.”
Esensi dari revolusi mental
ala Bung Karno ini adalah perombakan cara berpikir, cara kerja/berjuang, dan
cara hidup agar selaras dengan semangat kemajuan dan tuntutan revolusi
nasional. “Ia adalah satu gerakan untuk menggembleng manusia Indonesia agar
menjadi manusia baru, yang berhati putih, berkemauan baja, bersemangat elang
rajawali, berjiwa api yang menyala-nyala,” kata Bung Karno.
Perombakan cara berpikir,
cara kerja, dan cara hidup ini punya dua tujuan besar: pertama, menamankan rasa
percaya diri pada diri sendiri dan kemampuan sendiri; dan kedua, menanamkan
optimisme dengan daya kreatif di kalangan rakyat dalam menghadapi rintangan dan
kesulitan-kesulitan bermasyarakat dan bernegara.
Untuk melancarakan revolusi
mental ini, Bung Karno kemudian menganjurkan ‘Gerakan Hidup Baru’. Gerakan ini
merupakan bentuk praksis dari revolusi mental. Menurut Soekarno, setiap
revolusi mestilah menolak ‘hari kemarin’ (reject yesterday). Artinya, semua
gaya hidup lama, yang tidak sesuai dengan semangat kemajuan dan tuntutan
revolusi, mestilah dibuang.
Namun, ia menolak anggapan
bahwa Gerakan Hidup Baru hanyalah soal penyederhanaan alias hidup sederhana.
“Buat apa sederhana, kalau kesederhanaan itu ya sederhanannya seorang gembel
yang makan nasi dengan garam saja, tidak dari piring tapi dari daun pisang, dan
tidur di tikar yang sudah amoh, tetapi jiwanya mati seperti kapas yang sudah
basah, yaitu jiwa mati yang tiada gelora, jiwa mati yang tiada ketangkasan
nasional sama sekali, jiwa mati yang tiada idealisme yang berkobar-kobar, jiwa
mati yang tiada kesediaannya untuk berjuang. Buat apa kesederhanaan yang
demikian itu?” katanya.
Bung Karno sadar, revolusi
mental tidak akan berjalan hanya dengan celoteh dan kotbah tentang pentingnya
perbaikan moral dan berpikir positif. Revolusi mental versi Bung Karno bukanlah
ajakan berpikir positif dan optimistik ala Mario Teguh. Karena
itu, sejak tanggal 17 Agustus 1957 pemerintahan Soekarno melancarkan sejumlah
aksi: hidup sederhana, gerakan kebersihan/kesehatan, gerakan pemberantasan
buta-huruf, gerakan memassalkan gotong-royong, gerakan mendisiplikan dan
mengefisienkan perusahaan dan jawatan negara, gerakan pembangunan rohani
melalalui kegiatan keagamaan, dan penguatan kewaspadaan nasional.
Yang
menarik, semisal dalam gerakan hidup sederhana, yang ditekankan bukan hanya
soal gaya hidup sederhana dan hidup hemat, tetapi juga upaya menghentikan impor
barang-barang kebutuhan hidup dari luar negeri, penghargaan terhadap produksi
nasional, dan membangkitkan kesadaran berproduksi. Soekarno sadar, gerakan
hidup sederhana akan percuma jika nafsu belanja/konsumtifisme tidak terkendali.
Apalagi, jika nafsu belanja itu adalah belanja barang impor.
Begitu
juga dengan gerakan kebersihan/kesehatan. Di sini tidak hanya ajakan menjaga
kebersihan, tetapi gerakan memassalkan olahraga sebagai jalan membangun
kesehatan jasmani.
Juga dalam gerakan
pemberantasan buta-huruf. Saat itu pemerintah sangat sadar, bahwa baca-tulis
adalah penting untuk peningkatan taraf kebudayaan rakyat. Karena itu,
pemerintah menggalang mobilisasi rakyat untuk mensukseskan gerakan ini.
Memang, seperti diakui
Soekarno, revolusi mental bukanlah pekerjaan satu-dua hari, melainkan sebuah
proyek nasional jangka panjang dan terus-menerus. “Memperbaharui mentalitet
suatu bangsa tidak akan selesai dalam satu hari,” ujarnya. Dia juga bilang,
memperbaharui mentalitas suatu bangsa tidak seperti orang ganti baju; dilakukan
sekali dan langsung tuntas.
REVOLUSI MENTAL
oleh BENNY SUSETYO
Sekretaris Eksekutif Komisi HAK KWI, Pemerhati Sosial
“Revolusi Mental”. Frase ini
kini kerap disebut salah seorang kandidat presiden Indonesia. Pengertiannya
merujuk pada adanya revolusi kesadaran. Perubahan mendasar yang menyangkut
kesadaran, cara berpikir, dan bertindak sebuah bangsa besar. Revolusi mental
dari sesuatu yang negatif menuju positif.
Perubahan dari
ketidakpercayaan diri menjadi bangsa yang penuh kepercayaan. Menyadari diri
bahwa kita adalah bangsa besar dan bisa berbuat sesuatu yang besar. “Visi”
revolusi mental ini begitu pentingnya mengingat beragam kegagalan kita sebagai
bangsa, kerap (selalu) dimulai dari mentalitas ini.
Bangsa
Besar
Harus
ada yang terus mengingatkan bahwa Indonesia adalah bangsa besar. Namun,
masyarakatnya kerap tidak percaya diri saat menghadapi tantangan- tantangan
zaman. Pola pikir ini harus diubah karena perubahan selalu berasal dari sikap
dan mental manusia. Kendati sudah merdeka berpuluh tahun lamanya, kita masih
merasa sebagai bangsa yang rendah diri dan bermental “jongos”.
Kita
tidak maju akibat sikap mental yang selalu merasa diri terjajah dan bahkan
menikmati situasi ketergantungan pada bangsa lain. Kemakmuran yang ada seperti
sebuah fatamorgana, hanya indah di bukubuku sekolahan, namun pahit dalam
kenyataan. Sumber daya alam negeri ini bahkan nyaris ludes dikuasai oleh pihak
asing.
Untuk
mengembalikan semuanya, tidak berlebihan bila memang revolusi mental ini
dikemukakan. Ini merupakan hal mendasar dan pertama kali dilakukan agar kita
bisa memulai melakukan tindakantindakan konkret untuk mengambil manfaat sumber
daya alam untuk kepentingan bangsa kita sendiri.
Merdeka Sepenuhnya
Kita sering merasa minder
sebagai bangsa. Kurang bisa memaknai harga diri dan begitu mudah menyerahkan
segalagalanya pada bangsa lain. Orientasi elite kerap hanya keuntungan dirinya
saja, dengan hanya menjadi perantara atau makelar saja. Bukan sebagai bangsa
yang tangguh yang berani mengelola semua potensi untuk rakyat sendiri.
Berabad-abad lamanya menjadi bangsa yang bisa membungkuk pada orang lain.
Dan, inilah musabab segala
problematika bangsa ini sebab mental elite tidaklah merdeka sepenuhnya. Dalam
konteks pendidikan, ketakutan luar biasa terhadap mereka yang memiliki uang
merupakan cermin gagalnya pengelolaan republik ini. Kita belum mampu memproses
manusia yang merdeka; mendidik manusia untuk benar-benar menjadi merdeka.
Kita belum mampu
memerdekakan bangsa dan manusia Indonesia dari sikap dan sifatnya yang minder,
yang tidak fair, yang diwarnai oleh mentalitas kuli; cenderung menjilat ke atas
dan menginjak ke bawah. Tidak setia kawan, mudah mengkhianati dan tega
memfitnah, bahkan membunuh bila ada kesempatan. Akibatnya, lahirsuatuwatak yang
tidak suka membela kebenaran.
Watak ini oleh Romo Mangun
(1999) pernah dikatakan sebagai watak “mencari selamat sendiri-sendiri”. Ini
bahkan dilakukan melalui pengorbanan orang lain. Mereka lebih suka berbohong
dengan dalih menjaga harmoni.
Demi semua itu, mereka tak
mau bekerja secara fairplay, tetapi lebih menyukai menjadi bunglon demi menjaga
karier, martabat, dan status. Mentalitas tersebut begitu kuat, dan akibatnya
mereka tidak berani mengambil risiko dan berpedoman lebih baik mencari
keselamatan diri sendiri saja.
Sistem Penuh Kepalsuan
Suka tidak suka, sadar tidak
sadar, harus dikatakan bahwa inilah cermin sebagian besar elite politik kita
hari ini, yang tidak berani mengadakan perubahan secara radikal dengan merombak
sistem lama yang penuh kepalsuan. Sungguh ironis karena sudah tahu sistem
tersebut penuh dengan kebobrokan, justru tetap dilestarikan karena berdalih
menjaga kesopanan.
Tidak ada kesadaran bahwa
selama sistem lama masih bercokol, jangan harap menghasilkan elite yang
berkualitas. Citacita kemerdekaan yang digariskan oleh para pendiri republik
seolah luntur. Barangkali, tak pernah disangka oleh para pendiri republik bahwa
akhirnya kemerdekaan yang telah diraih dengan darah dan pengorbanan untuk
keluar dari jerat pikir penjajahan kembali lagi menuju penjajahan di bawah
dalih kemerdekaan.
Ironisnya, penjajahan dalam
arti yang lebih luas (politik, ekonomi, sosial, dan budaya) dilakukan oleh
bangsa sendiri bersama dengan bangsa lain melalui persekongkolan jahat.
Dalihnya kemakmuran, tapi nyatanya ketertindasan. Romantisme perjuangan dalam
bentuk solidaritas kebangsaan yang amat kuat luntur karena para pengisinya tak
pernah sadar bahwa usaha membangun selalu dilakukan bersama, bukan orang per
orang dan kelompok per kelompok.
Revolusi ’45 yang sudah
menghasilkan landasan bagi kemerdekaan politik sulit diteruskan menuju
kemerdekaan sosial, ekonomi, dan budaya sebagai sebuah cita-cita kemerdekaan
bangsa secara menyeluruh. Atas semua fakta di atas, refleksi kemerdekaan
seharusnya diletakkan dalam sebuah pertanyaan besar sejauh mana bangsa ini
mempertanyakan kembali cita-cita kemerdekaan yang mendasar.
Kemerdekaan
Sejati
Kemerdekaan
adalah kepedulian untuk terus-menerus memberdayakan manusia agar ia memahami
dirinya sendiri sekaligus mengaktualisasikan kreativitasnya demi membangun
kemakmuran bangsa dan negara. Gagasan Romo Mangun tersebar dalam berbagai pikiran
untuk membebaskan manusia dari belenggu. Bangsa baginya tidak hanya sebagai
kumpulan manusia yang setiap tahun merayakan kemerdekaan.
Kemerdekaan
bangsa adalah cerminan dari manusia sebagai individu yang otonom. Kenyataannya,
meski kita sudah merdeka hampir setengah abad dari penjajah, arti kemerdekaan
itu hanya bisa dilekatkan sebagai kemerdekaan secara formal. Itupun masih harus
kita pertanyakan kembali, meski kita sudah merdeka, pada hakikatnya kita masih
terjajah secara ekonomi.
Kemerdekaan
sebagai sebuah bangsa secara formal bukanlah cermin kemerdekaan manusia per
manusia di dalamnya. Kemerdekaan itu lebih berkonotasi sebagai kemerdekaan
kolektif, formalistik dan simbolistik. Bukan sebagai kemerdekaan jiwa dan
otonomi individu di dalamya. Kegelisahan bangsa ini, terutama, adalah karena
selama ini kita lebih hanya menjalankan reformasi yang setengah hati. Ini
disebabkan oleh mentalitas yang setengah-setengah dalam menegakkan keadilan dan
hukum.
Mentalitas
setengah-setengah itu tercermin dalam berbagai keraguan untuk menegakkan hukum
dan keadilan. Hukum dan
keadilan kerap dikalahkan oleh kekuatan politik dan uang. Dua hal ini begitu
kuat mengendalikan hukum di Republik ini. Dengan uang, semua perkara menjadi
beres dan mudah diselesaikan di bawah meja.
Keadilan hanya menjadi
permainan kata-kata oleh para elite politik yang selalu berkelit demi menjaga
konstitusi. Padahal, semua tahu bahwa konstitusi sedang dijalankan dengan
setengah hati; “sesuai dengan pesanan”. Seolah-olah mereka mengalami keraguan, ketakutan
untuk bertindak. Mereka tampaknya memiliki mentalitas minder dengan para
pemilik uang.
Atas itu semualah, revolusi
mental diperlukan, bukan hanya dalam kata-kata namun juga dalam tindakan
konkret untuk mengembalikan Indonesia sebagai bangsa besar yang mengelola
kekayaan alam untuk rakyatnya sendiri.
REVOLUSI
MENTAL
Oleh:
Joko Widodo
INDONESIA
saat ini menghadapi suatu paradoks pelik yang menuntut jawaban dari para
pemimpin nasional. Setelah 16 tahun melaksanakan reformasi, kenapa masyarakat
kita bertambah resah dan bukannya tambah bahagia, atau dalam istilah anak muda
sekarang semakin galau?
Dipimpin
bergantian oleh empat presiden antara 1998 dan 2014, mulai dari BJ Habibie, KH
Abdurrahman Wahid, Megawati Soekarnoputri, hingga Susilo Bambang Yudhoyono,
Indonesia telah mencatat sejumlah kemajuan di bidang ekonomi dan politik. Mereka
memimpin di bawah bendera reformasi yang didukung oleh pemerintahan yang
dipilih rakyat melalui proses yang demokratis.
Ekonomi
semakin berkembang dan masyarakat banyak yang bertambah makmur. Bank Dunia
bulan Mei ini mengatakan ekonomi Indonesia sudah masuk 10 besar dunia, jauh
lebih awal dari perkiraan pemerintah SBY yang memprediksi baru terjadi tahun
2025. Di bidang politik, masyarakat sudah banyak menikmati kebebasan serta
hak-haknya dibandingkan sebelumnya, termasuk di antaranya melakukan pergantian
pemimpinnya secara periodik melalui pemilu yang demokratis.
Namun,
di sisi lain, kita melihat dan merasakan kegalauan masyarakat seperti yang
dapat kita saksikan melalui protes di jalan-jalan di kota besar dan kecil dan
juga di ruang publik lainnya, termasuk media massa dan media sosial. Gejala apa
ini?
Pemimpin
nasional dan pemikir di Indonesia bingung menjelaskan fenomena bagaimana
keresahan dan kemarahan masyarakat justru merebak. Sementara, oleh dunia,
Indonesia dijadikan model keberhasilan reformasi yang menghantarkan kebebasan
politik serta demokrasi bersama pembangunan ekonomi bagi masyarakatnya.
Izinkan
saya melalui tulisan singkat ini menyampaikan pandangan saya menguraikan
permasalahan bangsa ini dan menawarkan paradigma baru untuk bersama mengatasinya.
Saya bukan ahli politik atau pembangunan. Untuk itu, pandangan ini banyak
berdasarkan pengamatan dan pengalaman saya selama ini, baik sebagai Wali Kota
Surakarta maupun Gubernur DKI Jakarta. Oleh karena itu, keterbatasan dalam
pandangan ini mohon dimaklumi.
Sebatas
kelembagaan
Reformasi
yang dilaksanakan di Indonesia sejak tumbangnya rezim Orde Baru Soeharto tahun
1998 baru sebatas melakukan perombakan yang sifatnya institusional. Ia belum
menyentuh paradigma, mindset, atau budaya politik kita dalam rangka pembangunan
bangsa (nation building). Agar perubahan benar-benar bermakna dan
berkesinambungan, dan sesuai dengan cita-cita Proklamasi Indonesia yang
merdeka, adil, dan makmur, kita perlu melakukan revolusi mental.
Nation
building tidak mungkin maju kalau sekadar mengandalkan perombakan institusional
tanpa melakukan perombakan manusianya atau sifat mereka yang menjalankan sistem
ini. Sehebat apa pun kelembagaan yang kita ciptakan, selama ia ditangani oleh
manusia dengan salah kaprah tidak akan membawa kesejahteraan. Sejarah Indonesia
merdeka penuh dengan contoh di mana salah pengelolaan (mismanagement) negara
telah membawa bencana besar nasional.
Kita melakukan amandemen
atas UUD 1945. Kita membentuk sejumlah komisi independen (termasuk KPK). Kita melaksanakan
otonomi daerah. Dan, kita telah banyak memperbaiki sejumlah undang-undang
nasional dan daerah. Kita juga sudah melaksanakan pemilu secara berkala di
tingkat nasional/daerah. Kesemuanya ditujukan dalam rangka perbaikan
pengelolaan negara yang demokratis dan akuntabel.
Namun, di saat yang sama,
sejumlah tradisi atau budaya yang tumbuh subur dan berkembang di alam represif
Orde Baru masih berlangsung sampai sekarang, mulai dari korupsi, intoleransi
terhadap perbedaan, dan sifat kerakusan, sampai sifat ingin menang sendiri,
kecenderungan menggunakan kekerasan dalam memecahkan masalah, pelecehan hukum,
dan sifat oportunis. Kesemuanya ini masih berlangsung, dan beberapa di
antaranya bahkan semakin merajalela, di alam Indonesia yang katanya lebih reformis.
Korupsi menjadi faktor utama
yang membawa bangsa ini ke ambang kebangkrutan ekonomi di tahun 1998 sehingga
Indonesia harus menerima suntikan dari Dana Moneter Internasional (IMF) yang
harus ditebus oleh bangsa ini dengan harga diri kita. Terlepas dari sepak
terjang dan kerja keras KPK mengejar koruptor, praktik korupsi sekarang masih
berlangsung, malah ada gejala semakin luas.
Demikian juga sifat
intoleransi yang tumbuh subur di tengah kebebasan yang dinikmati masyarakat.
Sementara itu, pertumbuhan ekonomi yang pesat malah memacu sifat kerakusan dan
keinginan sebagian masyarakat untuk cepat kaya sehingga menghalalkan segala
cara, termasuk pelanggaran hukum.
Jelas reformasi, yang hanya
menyentuh faktor kelembagaan negara, tidak akan cukup untuk menghantarkan
Indonesia ke arah cita-cita bangsa seperti diproklamasikan oleh para pendiri
bangsa. Apabila kita gagal melakukan perubahan dan memberantas praktik korupsi,
intoleransi, kerakusan, keinginan cepat kaya secara instan, pelecehan hukum,
dan sikap oportunis, semua keberhasilan reformasi ini segera lenyap bersama
kehancuran bangsa.
Perlu
revolusi mental
Dalam
pembangunan bangsa, saat ini kita cenderung menerapkan prinsip-prinsip paham
liberalisme yang jelas tidak sesuai dan kontradiktif dengan nilai, budaya, dan
karakter bangsa Indonesia. Sudah saatnya Indonesia melakukan tindakan korektif,
tidak dengan menghentikan proses reformasi yang sudah berjalan, tetapi dengan
mencanangkan revolusi mental menciptakan paradigma, budaya politik, dan
pendekatan nation building baru yang lebih manusiawi, sesuai dengan budaya
Nusantara, bersahaja, dan berkesinambungan.
Penggunaan
istilah “revolusi” tidak berlebihan. Sebab, Indonesia memerlukan suatu
terobosan budaya politik untuk memberantas setuntas-tuntasnya segala
praktik-praktik yang buruk yang sudah terlalu lama dibiarkan tumbuh kembang
sejak zaman Orde Baru sampai sekarang. Revolusi mental beda dengan revolusi
fisik karena ia tidak memerlukan pertumpahan darah. Namun, usaha ini tetap memerlukan
dukungan moril dan spiritual serta komitmen dalam diri seorang pemimpin—dan
selayaknya setiap revolusi—diperlukan pengorbanan oleh masyarakat.
Dalam
melaksanakan revolusi mental, kita dapat menggunakan konsep Trisakti yang
pernah diutarakan Bung Karno dalam pidatonya tahun 1963 dengan tiga pilarnya,
“Indonesia yang berdaulat secara politik”, “Indonesia yang mandiri secara
ekonomi”, dan “Indonesia yang berkepribadian secara sosial-budaya”. Terus
terang kita banyak mendapat masukan dari diskusi dengan berbagai tokoh nasional
tentang relevansi dan kontektualisasi konsep Trisakti Bung Karno ini.
Kedaulatan
rakyat sesuai dengan amanat sila keempat Pancasila haruslah ditegakkan di Bumi
kita ini. Negara dan pemerintahan yang terpilih melalui pemilihan yang demokratis
harus benar-benar bekerja bagi rakyat dan bukan bagi segelintir golongan kecil.
Kita harus menciptakan
sebuah sistem politik yang akuntabel, bersih dari praktik korupsi dan tindakan
intimidasi.
Semaraknya politik uang
dalam proses pemilu sedikit banyak memengaruhi kualitas dan integritas dari
mereka yang dipilih sebagai wakil rakyat. Kita perlu memperbaiki cara kita
merekrut pemain politik, yang lebih mengandalkan keterampilan dan rekam jejak
ketimbang kekayaan atau kedekatan mereka dengan pengambil keputusan.
Kita juga memerlukan
birokrasi yang bersih, andal, dan kapabel, yang benar-benar bekerja melayani
kepentingan rakyat dan mendukung pekerjaan pemerintah yang terpilih. Demikian
juga dengan penegakan hukum, yang penting demi menegakkan wibawa pemerintah dan
negara, menjadikan Indonesia sebagai negara yang berdasarkan hukum. Tidak kalah
pentingnya dalam rangka penegakan kedaulatan politik adalah peran TNI yang kuat
dan terlatih untuk menjaga kesatuan dan integritas teritorial Negara Kesatuan
Republik Indonesia (NKRI).
Di bidang ekonomi, Indonesia
harus berusaha melepaskan diri dari ketergantungan yang mendalam pada
investasi/modal/bantuan dan teknologi luar negeri dan juga pemenuhan kebutuhan
makanan dan bahan pokok lainnya dari impor. Kebijakan ekonomi liberal yang
sekadar mengedepankan kekuatan pasar telah menjebak Indonesia sehingga
menggantung pada modal asing. Sementara sumber daya alam dikuras oleh
perusahaan multinasional bersama para “komprador” Indonesia-nya.
Reformasi 16 tahun tidak
banyak membawa perubahan dalam cara kita mengelola ekonomi. Pemerintah dengan
gampang membuka keran impor untuk bahan makanan dan kebutuhan lain. Banyak
elite politik kita terjebak menjadi pemburu rente sebagai jalan pintas yang
diambil yang tidak memikirkan konsekuensi terhadap petani di Indonesia. Ironis
kalau Indonesia dengan kekayaan alamnya masih mengandalkan impor pangan.
Indonesia secara ekonomi seharusnya dapat berdiri di atas kaki sendiri, sesuai
dengan amanat Trisakti. Ketahanan pangan dan ketahanan energi merupakan dua hal
yang sudah tidak dapat ditawar lagi. Indonesia harus segera mengarah ke sana
dengan program dan jadwal yang jelas dan terukur. Di luar kedua sektor ini,
Indonesia tetap akan mengandalkan kegiatan ekspor dan impor untuk menggerakkan
roda ekonomi.
Kita
juga perlu meneliti ulang kebijakan investasi luar negeri yang angkanya
mencapai tingkat rekor beberapa tahun terakhir ini karena ternyata sebagian
besar investasi diarahkan ke sektor ekstraktif yang padat modal, tidak
menciptakan banyak lapangan kerja, tetapi mengeruk keuntungan yang
sebesar-besarnya.
Pilar
ketiga Trisakti adalah membangun kepribadian sosial dan budaya Indonesia. Sifat
ke-Indonesia-an semakin pudar karena derasnya tarikan arus globalisasi dan
dampak dari revolusi teknologi komunikasi selama 20 tahun terakhir. Indonesia
tidak boleh membiarkan bangsanya larut dengan arus budaya yang belum tentu
sesuai dengan nilai-nilai luhur bangsa kita.
Sistem
pendidikan harus diarahkan untuk membantu membangun identitas bangsa Indonesia
yang berbudaya dan beradab, yang menjunjung tinggi nilai-nilai moral agama yang
hidup di negara ini. Akses ke pendidikan dan layanan kesehatan masyarakat yang
terprogram, terarah, dan tepat sasaran oleh nagara dapat membantu kita
membangun kepribadian sosial dan budaya Indonesia.
Dari
mana kita mulai
Kalau
bisa disepakati bahwa Indonesia perlu melakukan revolusi mental, pertanyaan
berikutnya adalah dari mana kita harus memulainya. Jawabannya dari
masing-masing kita sendiri, dimulai dengan lingkungan keluarga dan lingkungan
tempat tinggal serta lingkungan kerja dan kemudian meluas menjadi lingkungan
kota dan lingkungan negara.
Revolusi
mental harus menjadi sebuah gerakan nasional. Usaha kita bersama untuk mengubah
nasib Indonesia menjadi bangsa yang benar-benar merdeka, adil, dan makmur. Kita harus berani mengendalikan masa depan bangsa kita
sendiri dengan restu Allah SWT. Sebab, sesungguhnya Allah tidak mengubah nasib
suatu bangsa kecuali bangsa itu mengubah apa yang ada pada diri mereka.
Saya sudah memulai gerakan
ini ketika memimpin Kota Surakarta dan sejak 2012 sebagai Gubernur DKI Jakarta.
Sejumlah teman yang sepaham juga sudah memulai gerakan ini di daerahnya
masing-masing. Insya Allah, usaha ini dapat berkembang semakin meluas sehingga
nanti benar-benar menjadi sebuah gerakan nasional seperti yang diamanatkan oleh
Bung Karno, memang revolusi belum selesai. Revolusi Mental
Indonesia baru saja dimulai.
REVOLUSI
MENTAL
oleh
Frederick Winslow Taylor
Frederick
Winslow Taylor, lahir tahun 1856, di Amerika, adalah seorang insinyur mekanik
yang tanpa henti dilakukan untuk meningkatkan efisiensi industri. Ia dikenal
sebagai bapak manajemen ilmiah.
Manajemen
ilmiah
Para
pekerja berpikir bahwa itu adalah untuk kepentingan terbaik mereka untuk pergi
lambat bukannya pergi cepat karena mereka percaya bahwa jika mereka
menggandakan output mereka di tahun mendatang, setengah dari mereka akan keluar
dari pekerjaan sebelum tahun keluar. Taylor menegaskan bahwa ini adalah
pandangan yang keliru. Menurutnya yang benar adalah: "meskipun perangkat
hemat tenaga kerja dapat berubah sepuluh, dua puluh, tiga puluh kali bahwa
output yang pada awalnya ternyata oleh orang-orang dalam perdagangan itu,
hasilnya telah universal telah membuat pekerjaan untuk laki-laki lebih dalam
perdagangan, tidak bekerja untuk pria kurang. "Dia dibenarkan pandangannya
dengan peningkatan efisiensi dalam industri kapas. Di Manchester, pada tahun
1840, ada 5.000 penenun dan pada saat Taylor itu 265,000. Ia mengajukan
pertanyaan: "memiliki pengenalan mesin hemat tenaga kerja (industri kapas
di Manchester), yang telah dikalikan output per manusia oleh sepuluh kali
lipat, dilempar orang dari pekerjaan?".
Revolusi
Mental
Karena
ia tahu alasan pandangan keliru pekerja (jika mereka bekerja lebih efisien,
beberapa dari mereka akan kehilangan pekerjaan mereka), ia tidak menyalahkan
orang pekerja. Sebaliknya, ia mencoba untuk menjelaskan mengapa justru
sebaliknya. Dia tercatat tiga alasan untuk inefisiensi:
1. Keyakinan
menipu bahwa peningkatan materi dalam output dari setiap orang atau setiap
mesin dalam perdagangan akan membuang orang keluar dari pekerjaan.
2. Sistem
manajemen yang rusak, yang membuatnya diperlukan untuk setiap pekerja untuk
tentara (sengaja beroperasi di bawah kapasitas mereka), untuk melindungi
kepentingan sendiri terbaik
3. Aturan
tidak efisien metode praktis, yang hampir universal dalam semua perdagangan,
yang biaya banyak terbuang usaha
Taylor
berhasil meningkatkan efisiensi dengan menerapkan prinsip-prinsip manajemen
ilmiah. Dia menegaskan bahwa "manajemen ilmiah tidak ada dan tidak bisa
ada sampai telah terjadi revolusi mental yang lengkap pada bagian dari pekerja
yang bekerja di bawah itu, untuk tugas-tugas mereka terhadap diri mereka
sendiri dan terhadap karyawan mereka, dan revolusi mental yang lengkap dalam
prospek untuk pengusaha, menuju tugasnya, terhadap diri mereka sendiri dan
towar pekerja mereka. "
Empat
Prinsip Manajemen Ilmiah:
Taylor
menjelaskan Prinsip Manajemen Ilmiah dalam bukunya yang diterbitkan pada tahun
1911:
1.
Ganti
aturan metode praktis kerja dengan metode berdasarkan studi ilmiah tugas.
2.
Ilmiah
pilih dan kemudian melatih, mengajar, dan mengembangkan pekerja, sedangkan di
masa lalu karyawan (atau pekerja) memilih bekerja sendiri dan melatih dirinya
sebisa mungkin.
3.
Menyediakan
"instruksi rinci dan pengawasan setiap pekerja dalam melaksanakan tugas
diskrit yang pekerja"
4.
Membagi
kerja hampir sama antara manajer dan pekerja, sehingga manajer menerapkan
prinsip-prinsip manajemen ilmiah untuk perencanaan pekerjaan dan pekerja
benar-benar melakukan tugas.
http://ozgurzan.com/management/management-theories/scientific-management-frederick-winslow-taylor/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar