Sabtu, 14 Februari 2015

PENGERTIAN REVOLUSI MENURUT BEBERAPA AHLI


REVOLUSI MENTAL ALA BUNG KARNO
Gagasan ‘revolusi mental’ menggoda banyak orang. Bagi mereka, revolusi mental dibutuhkan untuk membabat habis mentalitas, mindset, dan segala bentuk praktik buruk yang sudah mendarah-daging sejak jaman Orde Baru hingga sekarang. Namun, tidak sedikit pula yang mencibir gagasan ini sebagai ‘ide komunistik’.
Gagasan revolusi mental, sebagai usaha memperharui corak berpikir dan bertindak suatu masyarakat, bisa ditemukan di ideologi dan agama manapun. Dalam Islam pun ada gagasan revolusi mental, yakni konsep ‘kembali ke fitrah’: kembali suci atau tanpa dosa. Jadi, gagasan ini bukanlah produk komunis atau ideologi-ideologi yang berafiliasi dengan marxisme.
Namun, terlepas dari polemik itu, Pemilu Presiden (Pilpres) 2014 ini patut diapresiasi. Sebab, bukan hanya berhasil mencuatkan kembali nama dan figur Bung Karno, tetapi juga berhasil mempopulerkan kembali gagasan-gagasan revolusi nasional Indonesia. Salah satunya: Revolusi Mental.
Dalam revolusi nasional Indonesia, gagagasan revolusi mental memang tidak bisa dipisahkan dari Bung Karno. Dialah yang menjadi pencetus dan pengonsepnya. Dia pula yang mendorong habis-habisan agar konsep ini menjadi aspek penting dalam pelaksanaan dan penuntasan revolusi nasional Indonesia.
Saya kira, sebelum mengulas esensi revolusi mental versi Bung Karno, kita perlu mengenal konteks sosial-historis yang melahirkan gagasan Bung Karno tersebut. Sebab, tanpa mengenal konteks sosial-historisnya, kita juga akan bias menangkap esensi dan tujuan dari gagasan tersebut.
Gagasan revolusi mental mulai dikumandangkan oleh Bung Karno di pertengahan tahun 1950-an. Tepatnya di tahun 1957. Saat itu revolusi nasional Indonesia sedang ‘mandek’. Padahal, tujuan dari revolusi itu belum tercapai.
Ada beberapa faktor yang menyebabkan revolusi itu mandek. Pertama, terjadinya penurunan semangat dan jiwa revolusioner para pelaku revolusi, baik rakyat maupun pemimpin nasional. Situasi semacam itu memang biasa terjadi. Kata Bung Karno, di masa perang pembebasan (liberation), semua orang bisa menjadi patriot atau pejuang. Namun, ketika era perang pembebasan sudah selesai, gelora atau militansi revolusioner itu menurun.
Kedua, banyak pemimpin politik Indonesia kala itu yang masih mengidap penyakit mental warisan kolonial, seperti “hollands denken” (gaya berpikir meniru penjajah Belanda).  Penyakit mental tersebut mencegah para pemimpin tersebut mengambil sikap progressif dan tindakan revolusioner dalam rangka menuntaskan revolusi nasional.
Sementara di kalangan rakyat Indonesia, sebagai akibat praktek kolonialisme selama ratusan tahun, muncul mentalitas ‘nrimo’ dan kehilangan kepercayaan diri (inferiority complex) di hadapan penjajah.
Ketiga, terjadinya ‘penyelewengan-penyelewengan’ di lapangan ekonomi, politik, dan kebudayaan. Penyelewengan-penyelewengan tersebut dipicu oleh penyakit mental rendah diri dan tidak percaya diri dengan kemampuan sendiri. Juga dipicu oleh alam berpikir liberal, statis, dan textbook-thinkers(berpikir berdasarkan apa yang dituliskan di dalam buku-buku).
Di lapangan ekonomi, hingga pertengahan 1950-an, sektor-sektor ekonomi Indonesia masih dikuasai oleh modal Belanda dan asing lainnya. Akibatnya, sebagian besar kekayaan nasional kita mengalir keluar. Padahal, untuk membangun ekonomi nasional yang mandiri dan merdeka, struktur ekonomi kolonial tersebut mutlak harus dilikuidasi.
Namun, upaya melikuidasi struktur ekonomi nasional itu diganjal oleh sejumlah pemimpin politik dan ahli ekonomi yang mengidap penyakit rendah diri (minderwaardigheid-complex). Bagi mereka, Indonesia yang baru merdeka belum punya modal dan kemampuan untuk mengelola sendiri kekayaan alamnya. Karena itu, mereka menganjurkan kerjasama dengan negara-negara barat dan sebuah kebijakan ekonomi yang toleran terhadap modal asing.
Di lapangan politik, Indonesia kala itu mengadopsi demokrasi liberal yang berazaskan “free fight liberalism”. Alam politik liberal itu menyuburkan perilaku politik ego-sentrisme, yakni politik yang menonjolkan kepentingan perseorangan, golongan, partai, suku, dan kedaerahan. “Dulu jiwa kita dikhidmati oleh tekad: aku buat kita semua. Sekarang: aku buat aku!” keluh Bung Karno.
Demokrasi liberal ini juga menyebabkan ketidakstabilan politik dan perpecahan nasional. Akibatnya, dalam periode demokrasi liberal antara tahun 1950 hingga 1959, terjadi 7 kali pergantian pemerintahan/kabinet. Tak hanya itu, gerakan separatisme dan fundamentalisme juga menguat kala itu.
Bung Karno menyebut demokrasi liberal sebagai “hantam-kromo”; bebas mengkritik, bebas mengejek, dan bebas mencemooh. Di sini Bung Karno tidak alergi dengan kebebasan menyatakan pendapat dan melancarkan kritik. Namun, menurut dia, setiap kebebasan mestilah punya batas, yakni kepentingan rakyat dan keselamatan negara.
Di lapangan kebudayaan merebak penyakit individualisme, nihilisme dan sinisme. Kebudayaan tersebut membunuh kepribadian nasional bangsa Indonesia yang berdasarkan kolektivisme dan gotong-royong. Tak hanya itu, kebudayaan feodal dan imperialistik juga bergerilya menanamkan jiwa pengecut, penakut, lemah, dan tidak percaya diri kepada rakyat Indonesia dalam bertindak dan berbuat.
Itulah yang dihadapi oleh revolusi nasional saat itu. Dan, di mata Bung Karno, sebagian besar rintangan terhadap revolusi di atas bersumber pada corak berpikir dan bertindak yang bertolak-belakang dengan semangat kemajuan. Jadi, revolusi mental ala Bung Karno itu sangat dipengaruhi oleh konteks ekonomi-politik jaman itu. Revolusi mental-nya juga tidak diisolir dari perjuangan mengubah struktur ekonomi-politik kala itu.
Karena itu, Bung Karno menyerukan perlunya “Revolusi Mental”. Dia mengatakan, “karena itu maka untuk keselamatan bangsa dan negara, terutama dalam taraf nation building dengan segala bahayanya dan segala godaan-godaannya itu, diperlukan satu Revolusi Mental.”
Esensi dari revolusi mental ala Bung Karno ini adalah perombakan cara berpikir, cara kerja/berjuang, dan cara hidup agar selaras dengan semangat kemajuan dan tuntutan revolusi nasional. “Ia adalah satu gerakan untuk menggembleng manusia Indonesia agar menjadi manusia baru, yang berhati putih, berkemauan baja, bersemangat elang rajawali, berjiwa api yang menyala-nyala,” kata Bung Karno.
Perombakan cara berpikir, cara kerja, dan cara hidup ini punya dua tujuan besar: pertama, menamankan rasa percaya diri pada diri sendiri dan kemampuan sendiri; dan kedua, menanamkan optimisme dengan daya kreatif di kalangan rakyat dalam menghadapi rintangan dan kesulitan-kesulitan bermasyarakat dan bernegara.
Untuk melancarakan revolusi mental ini, Bung Karno kemudian menganjurkan ‘Gerakan Hidup Baru’. Gerakan ini merupakan bentuk praksis dari revolusi mental. Menurut Soekarno, setiap revolusi mestilah menolak ‘hari kemarin’ (reject yesterday). Artinya, semua gaya hidup lama, yang tidak sesuai dengan semangat kemajuan dan tuntutan revolusi, mestilah dibuang.
Namun, ia menolak anggapan bahwa Gerakan Hidup Baru hanyalah soal penyederhanaan alias hidup sederhana. “Buat apa sederhana, kalau kesederhanaan itu ya sederhanannya seorang gembel yang makan nasi dengan garam saja, tidak dari piring tapi dari daun pisang, dan tidur di tikar yang sudah amoh, tetapi jiwanya mati seperti kapas yang sudah basah, yaitu jiwa mati yang tiada gelora, jiwa mati yang tiada ketangkasan nasional sama sekali, jiwa mati yang tiada idealisme yang berkobar-kobar, jiwa mati yang tiada kesediaannya untuk berjuang. Buat apa kesederhanaan yang demikian itu?” katanya.
Bung Karno sadar, revolusi mental tidak akan berjalan hanya dengan celoteh dan kotbah tentang pentingnya perbaikan moral dan berpikir positif. Revolusi mental versi Bung Karno bukanlah ajakan berpikir positif dan optimistik ala Mario Teguh. Karena itu, sejak tanggal 17 Agustus 1957 pemerintahan Soekarno melancarkan sejumlah aksi: hidup sederhana, gerakan kebersihan/kesehatan, gerakan pemberantasan buta-huruf, gerakan memassalkan gotong-royong, gerakan mendisiplikan dan mengefisienkan perusahaan dan jawatan negara, gerakan pembangunan rohani melalalui kegiatan keagamaan, dan penguatan kewaspadaan nasional.
Yang menarik, semisal dalam gerakan hidup sederhana, yang ditekankan bukan hanya soal gaya hidup sederhana dan hidup hemat, tetapi juga upaya menghentikan impor barang-barang kebutuhan hidup dari luar negeri, penghargaan terhadap produksi nasional, dan membangkitkan kesadaran berproduksi. Soekarno sadar, gerakan hidup sederhana akan percuma jika nafsu belanja/konsumtifisme tidak terkendali. Apalagi, jika nafsu belanja itu adalah belanja barang impor.
Begitu juga dengan gerakan kebersihan/kesehatan. Di sini tidak hanya ajakan menjaga kebersihan, tetapi gerakan memassalkan olahraga sebagai jalan membangun kesehatan jasmani.
Juga dalam gerakan pemberantasan buta-huruf. Saat itu pemerintah sangat sadar, bahwa baca-tulis adalah penting untuk peningkatan taraf kebudayaan rakyat. Karena itu, pemerintah menggalang mobilisasi rakyat untuk mensukseskan gerakan ini.
Memang, seperti diakui Soekarno, revolusi mental bukanlah pekerjaan satu-dua hari, melainkan sebuah proyek nasional jangka panjang dan terus-menerus. “Memperbaharui mentalitet suatu bangsa tidak akan selesai dalam satu hari,” ujarnya. Dia juga bilang, memperbaharui mentalitas suatu bangsa tidak seperti orang ganti baju; dilakukan sekali dan langsung tuntas.




REVOLUSI MENTAL

oleh BENNY SUSETYO
Sekretaris Eksekutif Komisi HAK KWI, Pemerhati Sosial
“Revolusi Mental”. Frase ini kini kerap disebut salah seorang kandidat presiden Indonesia. Pengertiannya merujuk pada adanya revolusi kesadaran. Perubahan mendasar yang menyangkut kesadaran, cara berpikir, dan bertindak sebuah bangsa besar. Revolusi mental dari sesuatu yang negatif menuju positif.
Perubahan dari ketidakpercayaan diri menjadi bangsa yang penuh kepercayaan. Menyadari diri bahwa kita adalah bangsa besar dan bisa berbuat sesuatu yang besar. “Visi” revolusi mental ini begitu pentingnya mengingat beragam kegagalan kita sebagai bangsa, kerap (selalu) dimulai dari mentalitas ini.
Bangsa Besar
Harus ada yang terus mengingatkan bahwa Indonesia adalah bangsa besar. Namun, masyarakatnya kerap tidak percaya diri saat menghadapi tantangan- tantangan zaman. Pola pikir ini harus diubah karena perubahan selalu berasal dari sikap dan mental manusia. Kendati sudah merdeka berpuluh tahun lamanya, kita masih merasa sebagai bangsa yang rendah diri dan bermental “jongos”.
Kita tidak maju akibat sikap mental yang selalu merasa diri terjajah dan bahkan menikmati situasi ketergantungan pada bangsa lain. Kemakmuran yang ada seperti sebuah fatamorgana, hanya indah di bukubuku sekolahan, namun pahit dalam kenyataan. Sumber daya alam negeri ini bahkan nyaris ludes dikuasai oleh pihak asing.
Untuk mengembalikan semuanya, tidak berlebihan bila memang revolusi mental ini dikemukakan. Ini merupakan hal mendasar dan pertama kali dilakukan agar kita bisa memulai melakukan tindakantindakan konkret untuk mengambil manfaat sumber daya alam untuk kepentingan bangsa kita sendiri.
Merdeka Sepenuhnya
Kita sering merasa minder sebagai bangsa. Kurang bisa memaknai harga diri dan begitu mudah menyerahkan segalagalanya pada bangsa lain. Orientasi elite kerap hanya keuntungan dirinya saja, dengan hanya menjadi perantara atau makelar saja. Bukan sebagai bangsa yang tangguh yang berani mengelola semua potensi untuk rakyat sendiri. Berabad-abad lamanya menjadi bangsa yang bisa membungkuk pada orang lain.
Dan, inilah musabab segala problematika bangsa ini sebab mental elite tidaklah merdeka sepenuhnya. Dalam konteks pendidikan, ketakutan luar biasa terhadap mereka yang memiliki uang merupakan cermin gagalnya pengelolaan republik ini. Kita belum mampu memproses manusia yang merdeka; mendidik manusia untuk benar-benar menjadi merdeka.
Kita belum mampu memerdekakan bangsa dan manusia Indonesia dari sikap dan sifatnya yang minder, yang tidak fair, yang diwarnai oleh mentalitas kuli; cenderung menjilat ke atas dan menginjak ke bawah. Tidak setia kawan, mudah mengkhianati dan tega memfitnah, bahkan membunuh bila ada kesempatan. Akibatnya, lahirsuatuwatak yang tidak suka membela kebenaran.
Watak ini oleh Romo Mangun (1999) pernah dikatakan sebagai watak “mencari selamat sendiri-sendiri”. Ini bahkan dilakukan melalui pengorbanan orang lain. Mereka lebih suka berbohong dengan dalih menjaga harmoni.
Demi semua itu, mereka tak mau bekerja secara fairplay, tetapi lebih menyukai menjadi bunglon demi menjaga karier, martabat, dan status. Mentalitas tersebut begitu kuat, dan akibatnya mereka tidak berani mengambil risiko dan berpedoman lebih baik mencari keselamatan diri sendiri saja.
Sistem Penuh Kepalsuan
Suka tidak suka, sadar tidak sadar, harus dikatakan bahwa inilah cermin sebagian besar elite politik kita hari ini, yang tidak berani mengadakan perubahan secara radikal dengan merombak sistem lama yang penuh kepalsuan. Sungguh ironis karena sudah tahu sistem tersebut penuh dengan kebobrokan, justru tetap dilestarikan karena berdalih menjaga kesopanan.
Tidak ada kesadaran bahwa selama sistem lama masih bercokol, jangan harap menghasilkan elite yang berkualitas. Citacita kemerdekaan yang digariskan oleh para pendiri republik seolah luntur. Barangkali, tak pernah disangka oleh para pendiri republik bahwa akhirnya kemerdekaan yang telah diraih dengan darah dan pengorbanan untuk keluar dari jerat pikir penjajahan kembali lagi menuju penjajahan di bawah dalih kemerdekaan.
Ironisnya, penjajahan dalam arti yang lebih luas (politik, ekonomi, sosial, dan budaya) dilakukan oleh bangsa sendiri bersama dengan bangsa lain melalui persekongkolan jahat. Dalihnya kemakmuran, tapi nyatanya ketertindasan. Romantisme perjuangan dalam bentuk solidaritas kebangsaan yang amat kuat luntur karena para pengisinya tak pernah sadar bahwa usaha membangun selalu dilakukan bersama, bukan orang per orang dan kelompok per kelompok.
Revolusi ’45 yang sudah menghasilkan landasan bagi kemerdekaan politik sulit diteruskan menuju kemerdekaan sosial, ekonomi, dan budaya sebagai sebuah cita-cita kemerdekaan bangsa secara menyeluruh. Atas semua fakta di atas, refleksi kemerdekaan seharusnya diletakkan dalam sebuah pertanyaan besar sejauh mana bangsa ini mempertanyakan kembali cita-cita kemerdekaan yang mendasar.
Kemerdekaan Sejati
Kemerdekaan adalah kepedulian untuk terus-menerus memberdayakan manusia agar ia memahami dirinya sendiri sekaligus mengaktualisasikan kreativitasnya demi membangun kemakmuran bangsa dan negara. Gagasan Romo Mangun tersebar dalam berbagai pikiran untuk membebaskan manusia dari belenggu. Bangsa baginya tidak hanya sebagai kumpulan manusia yang setiap tahun merayakan kemerdekaan.
Kemerdekaan bangsa adalah cerminan dari manusia sebagai individu yang otonom. Kenyataannya, meski kita sudah merdeka hampir setengah abad dari penjajah, arti kemerdekaan itu hanya bisa dilekatkan sebagai kemerdekaan secara formal. Itupun masih harus kita pertanyakan kembali, meski kita sudah merdeka, pada hakikatnya kita masih terjajah secara ekonomi.
Kemerdekaan sebagai sebuah bangsa secara formal bukanlah cermin kemerdekaan manusia per manusia di dalamnya. Kemerdekaan itu lebih berkonotasi sebagai kemerdekaan kolektif, formalistik dan simbolistik. Bukan sebagai kemerdekaan jiwa dan otonomi individu di dalamya. Kegelisahan bangsa ini, terutama, adalah karena selama ini kita lebih hanya menjalankan reformasi yang setengah hati. Ini disebabkan oleh mentalitas yang setengah-setengah dalam menegakkan keadilan dan hukum.
Mentalitas setengah-setengah itu tercermin dalam berbagai keraguan untuk menegakkan hukum dan keadilan. Hukum dan keadilan kerap dikalahkan oleh kekuatan politik dan uang. Dua hal ini begitu kuat mengendalikan hukum di Republik ini. Dengan uang, semua perkara menjadi beres dan mudah diselesaikan di bawah meja.
Keadilan hanya menjadi permainan kata-kata oleh para elite politik yang selalu berkelit demi menjaga konstitusi. Padahal, semua tahu bahwa konstitusi sedang dijalankan dengan setengah hati; “sesuai dengan pesanan”. Seolah-olah mereka mengalami keraguan, ketakutan untuk bertindak. Mereka tampaknya memiliki mentalitas minder dengan para pemilik uang.
Atas itu semualah, revolusi mental diperlukan, bukan hanya dalam kata-kata namun juga dalam tindakan konkret untuk mengembalikan Indonesia sebagai bangsa besar yang mengelola kekayaan alam untuk rakyatnya sendiri.




REVOLUSI MENTAL

Oleh: Joko Widodo

INDONESIA saat ini menghadapi suatu paradoks pelik yang menuntut jawaban dari para pemimpin nasional. Setelah 16 tahun melaksanakan reformasi, kenapa masyarakat kita bertambah resah dan bukannya tambah bahagia, atau dalam istilah anak muda sekarang semakin galau?
Dipimpin bergantian oleh empat presiden antara 1998 dan 2014, mulai dari BJ Habibie, KH Abdurrahman Wahid, Megawati Soekarnoputri, hingga Susilo Bambang Yudhoyono, Indonesia telah mencatat sejumlah kemajuan di bidang ekonomi dan politik. Mereka memimpin di bawah bendera reformasi yang didukung oleh pemerintahan yang dipilih rakyat melalui proses yang demokratis.
Ekonomi semakin berkembang dan masyarakat banyak yang bertambah makmur. Bank Dunia bulan Mei ini mengatakan ekonomi Indonesia sudah masuk 10 besar dunia, jauh lebih awal dari perkiraan pemerintah SBY yang memprediksi baru terjadi tahun 2025. Di bidang politik, masyarakat sudah banyak menikmati kebebasan serta hak-haknya dibandingkan sebelumnya, termasuk di antaranya melakukan pergantian pemimpinnya secara periodik melalui pemilu yang demokratis.
Namun, di sisi lain, kita melihat dan merasakan kegalauan masyarakat seperti yang dapat kita saksikan melalui protes di jalan-jalan di kota besar dan kecil dan juga di ruang publik lainnya, termasuk media massa dan media sosial. Gejala apa ini?
Pemimpin nasional dan pemikir di Indonesia bingung menjelaskan fenomena bagaimana keresahan dan kemarahan masyarakat justru merebak. Sementara, oleh dunia, Indonesia dijadikan model keberhasilan reformasi yang menghantarkan kebebasan politik serta demokrasi bersama pembangunan ekonomi bagi masyarakatnya.
Izinkan saya melalui tulisan singkat ini menyampaikan pandangan saya menguraikan permasalahan bangsa ini dan menawarkan paradigma baru untuk bersama mengatasinya. Saya bukan ahli politik atau pembangunan. Untuk itu, pandangan ini banyak berdasarkan pengamatan dan pengalaman saya selama ini, baik sebagai Wali Kota Surakarta maupun Gubernur DKI Jakarta. Oleh karena itu, keterbatasan dalam pandangan ini mohon dimaklumi.
Sebatas kelembagaan
Reformasi yang dilaksanakan di Indonesia sejak tumbangnya rezim Orde Baru Soeharto tahun 1998 baru sebatas melakukan perombakan yang sifatnya institusional. Ia belum menyentuh paradigma, mindset, atau budaya politik kita dalam rangka pembangunan bangsa (nation building). Agar perubahan benar-benar bermakna dan berkesinambungan, dan sesuai dengan cita-cita Proklamasi Indonesia yang merdeka, adil, dan makmur, kita perlu melakukan revolusi mental.
Nation building tidak mungkin maju kalau sekadar mengandalkan perombakan institusional tanpa melakukan perombakan manusianya atau sifat mereka yang menjalankan sistem ini. Sehebat apa pun kelembagaan yang kita ciptakan, selama ia ditangani oleh manusia dengan salah kaprah tidak akan membawa kesejahteraan. Sejarah Indonesia merdeka penuh dengan contoh di mana salah pengelolaan (mismanagement) negara telah membawa bencana besar nasional.
Kita melakukan amandemen atas UUD 1945. Kita membentuk sejumlah komisi independen (termasuk KPK). Kita melaksanakan otonomi daerah. Dan, kita telah banyak memperbaiki sejumlah undang-undang nasional dan daerah. Kita juga sudah melaksanakan pemilu secara berkala di tingkat nasional/daerah. Kesemuanya ditujukan dalam rangka perbaikan pengelolaan negara yang demokratis dan akuntabel.
Namun, di saat yang sama, sejumlah tradisi atau budaya yang tumbuh subur dan berkembang di alam represif Orde Baru masih berlangsung sampai sekarang, mulai dari korupsi, intoleransi terhadap perbedaan, dan sifat kerakusan, sampai sifat ingin menang sendiri, kecenderungan menggunakan kekerasan dalam memecahkan masalah, pelecehan hukum, dan sifat oportunis. Kesemuanya ini masih berlangsung, dan beberapa di antaranya bahkan semakin merajalela, di alam Indonesia yang katanya lebih reformis.
Korupsi menjadi faktor utama yang membawa bangsa ini ke ambang kebangkrutan ekonomi di tahun 1998 sehingga Indonesia harus menerima suntikan dari Dana Moneter Internasional (IMF) yang harus ditebus oleh bangsa ini dengan harga diri kita. Terlepas dari sepak terjang dan kerja keras KPK mengejar koruptor, praktik korupsi sekarang masih berlangsung, malah ada gejala semakin luas.
Demikian juga sifat intoleransi yang tumbuh subur di tengah kebebasan yang dinikmati masyarakat. Sementara itu, pertumbuhan ekonomi yang pesat malah memacu sifat kerakusan dan keinginan sebagian masyarakat untuk cepat kaya sehingga menghalalkan segala cara, termasuk pelanggaran hukum.
Jelas reformasi, yang hanya menyentuh faktor kelembagaan negara, tidak akan cukup untuk menghantarkan Indonesia ke arah cita-cita bangsa seperti diproklamasikan oleh para pendiri bangsa. Apabila kita gagal melakukan perubahan dan memberantas praktik korupsi, intoleransi, kerakusan, keinginan cepat kaya secara instan, pelecehan hukum, dan sikap oportunis, semua keberhasilan reformasi ini segera lenyap bersama kehancuran bangsa.
Perlu revolusi mental
Dalam pembangunan bangsa, saat ini kita cenderung menerapkan prinsip-prinsip paham liberalisme yang jelas tidak sesuai dan kontradiktif dengan nilai, budaya, dan karakter bangsa Indonesia. Sudah saatnya Indonesia melakukan tindakan korektif, tidak dengan menghentikan proses reformasi yang sudah berjalan, tetapi dengan mencanangkan revolusi mental menciptakan paradigma, budaya politik, dan pendekatan nation building baru yang lebih manusiawi, sesuai dengan budaya Nusantara, bersahaja, dan berkesinambungan.
Penggunaan istilah “revolusi” tidak berlebihan. Sebab, Indonesia memerlukan suatu terobosan budaya politik untuk memberantas setuntas-tuntasnya segala praktik-praktik yang buruk yang sudah terlalu lama dibiarkan tumbuh kembang sejak zaman Orde Baru sampai sekarang. Revolusi mental beda dengan revolusi fisik karena ia tidak memerlukan pertumpahan darah. Namun, usaha ini tetap memerlukan dukungan moril dan spiritual serta komitmen dalam diri seorang pemimpin—dan selayaknya setiap revolusi—diperlukan pengorbanan oleh masyarakat.
Dalam melaksanakan revolusi mental, kita dapat menggunakan konsep Trisakti yang pernah diutarakan Bung Karno dalam pidatonya tahun 1963 dengan tiga pilarnya, “Indonesia yang berdaulat secara politik”, “Indonesia yang mandiri secara ekonomi”, dan “Indonesia yang berkepribadian secara sosial-budaya”. Terus terang kita banyak mendapat masukan dari diskusi dengan berbagai tokoh nasional tentang relevansi dan kontektualisasi konsep Trisakti Bung Karno ini.
Kedaulatan rakyat sesuai dengan amanat sila keempat Pancasila haruslah ditegakkan di Bumi kita ini. Negara dan pemerintahan yang terpilih melalui pemilihan yang demokratis harus benar-benar bekerja bagi rakyat dan bukan bagi segelintir golongan kecil. Kita harus menciptakan sebuah sistem politik yang akuntabel, bersih dari praktik korupsi dan tindakan intimidasi.
Semaraknya politik uang dalam proses pemilu sedikit banyak memengaruhi kualitas dan integritas dari mereka yang dipilih sebagai wakil rakyat. Kita perlu memperbaiki cara kita merekrut pemain politik, yang lebih mengandalkan keterampilan dan rekam jejak ketimbang kekayaan atau kedekatan mereka dengan pengambil keputusan.
Kita juga memerlukan birokrasi yang bersih, andal, dan kapabel, yang benar-benar bekerja melayani kepentingan rakyat dan mendukung pekerjaan pemerintah yang terpilih. Demikian juga dengan penegakan hukum, yang penting demi menegakkan wibawa pemerintah dan negara, menjadikan Indonesia sebagai negara yang berdasarkan hukum. Tidak kalah pentingnya dalam rangka penegakan kedaulatan politik adalah peran TNI yang kuat dan terlatih untuk menjaga kesatuan dan integritas teritorial Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Di bidang ekonomi, Indonesia harus berusaha melepaskan diri dari ketergantungan yang mendalam pada investasi/modal/bantuan dan teknologi luar negeri dan juga pemenuhan kebutuhan makanan dan bahan pokok lainnya dari impor. Kebijakan ekonomi liberal yang sekadar mengedepankan kekuatan pasar telah menjebak Indonesia sehingga menggantung pada modal asing. Sementara sumber daya alam dikuras oleh perusahaan multinasional bersama para “komprador” Indonesia-nya.
Reformasi 16 tahun tidak banyak membawa perubahan dalam cara kita mengelola ekonomi. Pemerintah dengan gampang membuka keran impor untuk bahan makanan dan kebutuhan lain. Banyak elite politik kita terjebak menjadi pemburu rente sebagai jalan pintas yang diambil yang tidak memikirkan konsekuensi terhadap petani di Indonesia. Ironis kalau Indonesia dengan kekayaan alamnya masih mengandalkan impor pangan. Indonesia secara ekonomi seharusnya dapat berdiri di atas kaki sendiri, sesuai dengan amanat Trisakti. Ketahanan pangan dan ketahanan energi merupakan dua hal yang sudah tidak dapat ditawar lagi. Indonesia harus segera mengarah ke sana dengan program dan jadwal yang jelas dan terukur. Di luar kedua sektor ini, Indonesia tetap akan mengandalkan kegiatan ekspor dan impor untuk menggerakkan roda ekonomi.
Kita juga perlu meneliti ulang kebijakan investasi luar negeri yang angkanya mencapai tingkat rekor beberapa tahun terakhir ini karena ternyata sebagian besar investasi diarahkan ke sektor ekstraktif yang padat modal, tidak menciptakan banyak lapangan kerja, tetapi mengeruk keuntungan yang sebesar-besarnya.
Pilar ketiga Trisakti adalah membangun kepribadian sosial dan budaya Indonesia. Sifat ke-Indonesia-an semakin pudar karena derasnya tarikan arus globalisasi dan dampak dari revolusi teknologi komunikasi selama 20 tahun terakhir. Indonesia tidak boleh membiarkan bangsanya larut dengan arus budaya yang belum tentu sesuai dengan nilai-nilai luhur bangsa kita.
Sistem pendidikan harus diarahkan untuk membantu membangun identitas bangsa Indonesia yang berbudaya dan beradab, yang menjunjung tinggi nilai-nilai moral agama yang hidup di negara ini. Akses ke pendidikan dan layanan kesehatan masyarakat yang terprogram, terarah, dan tepat sasaran oleh nagara dapat membantu kita membangun kepribadian sosial dan budaya Indonesia.
Dari mana kita mulai
Kalau bisa disepakati bahwa Indonesia perlu melakukan revolusi mental, pertanyaan berikutnya adalah dari mana kita harus memulainya. Jawabannya dari masing-masing kita sendiri, dimulai dengan lingkungan keluarga dan lingkungan tempat tinggal serta lingkungan kerja dan kemudian meluas menjadi lingkungan kota dan lingkungan negara.
Revolusi mental harus menjadi sebuah gerakan nasional. Usaha kita bersama untuk mengubah nasib Indonesia menjadi bangsa yang benar-benar merdeka, adil, dan makmur. Kita harus berani mengendalikan masa depan bangsa kita sendiri dengan restu Allah SWT. Sebab, sesungguhnya Allah tidak mengubah nasib suatu bangsa kecuali bangsa itu mengubah apa yang ada pada diri mereka.
Saya sudah memulai gerakan ini ketika memimpin Kota Surakarta dan sejak 2012 sebagai Gubernur DKI Jakarta. Sejumlah teman yang sepaham juga sudah memulai gerakan ini di daerahnya masing-masing. Insya Allah, usaha ini dapat berkembang semakin meluas sehingga nanti benar-benar menjadi sebuah gerakan nasional seperti yang diamanatkan oleh Bung Karno, memang revolusi belum selesai. Revolusi Mental Indonesia baru saja dimulai.




REVOLUSI MENTAL

oleh Frederick Winslow Taylor

Frederick Winslow Taylor, lahir tahun 1856, di Amerika, adalah seorang insinyur mekanik yang tanpa henti dilakukan untuk meningkatkan efisiensi industri. Ia dikenal sebagai bapak manajemen ilmiah.

Manajemen ilmiah
Para pekerja berpikir bahwa itu adalah untuk kepentingan terbaik mereka untuk pergi lambat bukannya pergi cepat karena mereka percaya bahwa jika mereka menggandakan output mereka di tahun mendatang, setengah dari mereka akan keluar dari pekerjaan sebelum tahun keluar. Taylor menegaskan bahwa ini adalah pandangan yang keliru. Menurutnya yang benar adalah: "meskipun perangkat hemat tenaga kerja dapat berubah sepuluh, dua puluh, tiga puluh kali bahwa output yang pada awalnya ternyata oleh orang-orang dalam perdagangan itu, hasilnya telah universal telah membuat pekerjaan untuk laki-laki lebih dalam perdagangan, tidak bekerja untuk pria kurang. "Dia dibenarkan pandangannya dengan peningkatan efisiensi dalam industri kapas. Di Manchester, pada tahun 1840, ada 5.000 penenun dan pada saat Taylor itu 265,000. Ia mengajukan pertanyaan: "memiliki pengenalan mesin hemat tenaga kerja (industri kapas di Manchester), yang telah dikalikan output per manusia oleh sepuluh kali lipat, dilempar orang dari pekerjaan?".

Revolusi Mental

Karena ia tahu alasan pandangan keliru pekerja (jika mereka bekerja lebih efisien, beberapa dari mereka akan kehilangan pekerjaan mereka), ia tidak menyalahkan orang pekerja. Sebaliknya, ia mencoba untuk menjelaskan mengapa justru sebaliknya. Dia tercatat tiga alasan untuk inefisiensi:

1.      Keyakinan menipu bahwa peningkatan materi dalam output dari setiap orang atau setiap mesin dalam perdagangan akan membuang orang keluar dari pekerjaan.
2.      Sistem manajemen yang rusak, yang membuatnya diperlukan untuk setiap pekerja untuk tentara (sengaja beroperasi di bawah kapasitas mereka), untuk melindungi kepentingan sendiri terbaik
3.      Aturan tidak efisien metode praktis, yang hampir universal dalam semua perdagangan, yang biaya banyak terbuang usaha
Taylor berhasil meningkatkan efisiensi dengan menerapkan prinsip-prinsip manajemen ilmiah. Dia menegaskan bahwa "manajemen ilmiah tidak ada dan tidak bisa ada sampai telah terjadi revolusi mental yang lengkap pada bagian dari pekerja yang bekerja di bawah itu, untuk tugas-tugas mereka terhadap diri mereka sendiri dan terhadap karyawan mereka, dan revolusi mental yang lengkap dalam prospek untuk pengusaha, menuju tugasnya, terhadap diri mereka sendiri dan towar pekerja mereka. "

Empat Prinsip Manajemen Ilmiah:

Taylor menjelaskan Prinsip Manajemen Ilmiah dalam bukunya yang diterbitkan pada tahun 1911:

1.      Ganti aturan metode praktis kerja dengan metode berdasarkan studi ilmiah tugas.
2.      Ilmiah pilih dan kemudian melatih, mengajar, dan mengembangkan pekerja, sedangkan di masa lalu karyawan (atau pekerja) memilih bekerja sendiri dan melatih dirinya sebisa mungkin.
3.      Menyediakan "instruksi rinci dan pengawasan setiap pekerja dalam melaksanakan tugas diskrit yang pekerja"
4.      Membagi kerja hampir sama antara manajer dan pekerja, sehingga manajer menerapkan prinsip-prinsip manajemen ilmiah untuk perencanaan pekerjaan dan pekerja benar-benar melakukan tugas.


http://ozgurzan.com/management/management-theories/scientific-management-frederick-winslow-taylor/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar