Minggu, 03 Mei 2015

Pandangan Negara lain terhadap Indonesia dalam hubungan Bilateral

Jalan Terjal Eksekusi Mati Jilid II
Jalan terjal eksekusi mati jilid II
Jalan terjal eksekusi mati jilid II

JAKARTA – Di balik jeruji penjara Lapas Pemasyarakatan (LP) Nusakambangan, Cilacap, Jawa Tengah, sembilan terpidana mati Jilid II kasus narkoba resah. Nyawa mereka akan segera dicabut dari letupan senjata api petugas yang entah kapan dilesatkan.
            Di luar tembok penjara Nusakambangan, keluarga dari terpidana mati bertaruh menyeberangi laut. Sesampai di Nusakambangan, mereka melepas kerinduan, dan tak kuasa menahan tangis. Meronta minta pengampunan agar tidak dilakukan eksekusi mati.
Tidak berhenti di situ, protes keras pun gencar dilakukan pemerintah Prancis dan Australia yang warga negaranya akan dieksekusi regu tembak. Tetapi pemerintah tetap keukeuh eksekusi mati jilid II tetap dilaksanakan, tak bisa dihalangi.
            Eksekusi mati jilid II penuh tarik ulur. Beberapa terpidana mati yang seharusnya segera dieksekusi mati berlomba-lomba mengajukan peninjauan kembali (PK) dan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) guna melawan grasi dikeluarkan Presiden.
Ke sembilan terpidana mati itu yakni Andrew Chan dan Myuran Sukumaran (keduanya WN Australia); Raheem Agbaje Salami (WN Spanyol); Rodrigo Gularte (WN Brasil), dan Martin Anderson alias Belo (WN Nigeria). Kemudian, Sylvester Obieke Nwolise (WN Nigeria); Okwudili Oyatanze (WN Nigeria); Zainal Abidin (WN Indonesia); dan seorang perempuan Mary Jane Fiesta Veloso (WN Filipina).
            Sebenarnya terdapat 10 terpidana mati yang akan dieksekusi namun hanya satu terpidana mati yang tertunda dilakukan. Adalah, Serge Areski yang permohonnya sedang berada di meja PTUN.
            “Harapan klien kami agar permohonan yang diajukan ke PTUN bisa diterima, dikabulkan dan baca dipahami para hakim,” ujar Nancy Yuliana, kuasa hukum terpidana mati kasus narkoba Serge Areski kepada Okezone, Selasa (27/4/2015).
            Eksekusi mati jilid II tidak seperti eksekusi mati jilid I yang dilakukan pada enam terpidana mati kasus narkoba pada Minggu 18 Januari 2014. Meski menuai polemik, lima terpidana tetap dieksekusi di Nusakambangan dan satu terpidana di tembak mati di Boyolali.
            Tindakan Pemerintah Indonesia melaksanakan eksekusi mati jilid I membuat Pemerintah Belanda dan Brasil, berang bahkan sampai menarik duta besarnya sebagai bentuk protes keras terhadap putusan hukuman mati yang diberlakukan terhadap Ang Kim Soei (62) WN Belanda dan Marco Archer Cardoso Mareira (53) WN Brasil.
            Kini, persoalan serupa kembali muncul ketika Pemerintah Indonesia akan melaksanakan eksekusi mati jilid II. Sebab, terdapat dua terpidana mati asal Australia yang terkenal dengan sebutan Bali Nine siap didor.
            Istilah Bali Nine menjadi terkenal karena ada sembilan orang WN Australia yakni Andrew Chan, Si Yi Chen, Michael Czugaj, Renae Lawrence, Tan duc Thanh Nguyen, Matthew Norman, Scott Rush, Martin Stephens, dan Myuran Sukumaran. Mereka tertangkap dalam kasus penyelundupan 8,3 kilogram heroin.
            Dari sembilan yang ditangkap, dua orang menjadi terpidana mati yakni Myuran Sukumaran dan Andrew Chan. Grasi Myuran sudah ditolak Presiden Joko Widodo pada tanggal 30 Desember 2014, sedang permohonan grasi Andrew Chan masih dalam proses.
Bisa jadi dua terpidana mati asal Australia itu akan menjadi terpidana berikut yang akan dieksekusi. Media Australia dan Pemerintah Australia mulai merasa gerah dan terus melakukan upaya pembebasan agar dua warganegaranya tak dihukum mati.
            Banyak media dan sebagian warganegara Australia menyalahkan pihak Australia Federal Police (AFP) yang mau bekerja sama dan menyerahkan data intelijen kepada kepolisian Indonesia. Pasalnya, keberhasilan kepolisian Indonesia menggulung kelompok Bali Nine berkat informasi intelijen yang diberikan pihak kepolisian Federal Australia.
            Hal yang tidak mereka duga adalah hukum bagi pengedar, penyelundup narkoba di Indonesia adalah hukuman mati. Salah satu ayah terpidana Bali Nine menyalahkan AFP yang tidak menangkap para terpidana ketika sampai di Australia dan malah meminta kepolisian Indonesia menangkap mereka di Bandara Ngurah Rai Bali pada 17 April 2005.
            Pemerintah Australia ketika itu PM John Howard menentang keras pidana mati. Berkali kali pemerintah Australia meminta tidak diterapkannya hukuman mati pada sembilan terdakwa WN Australia tersebut.
            Sayangnya permintaan pemerintah Australia tak mempengaruhi hakim Indonesia yang memutuskan untuk tetap menjatuhkan hukuman mati pada dua warga Australia tersebut.
            Kini eksekusi mati jilid II terhadap sembilan terpidana mati tersebut tinggal menunggu detik-detik terkahir.
            "Sembilan orang itu akan dieksekusi serentak pada detik yang sama tidak akan saling menunggu, tidak ada antrean," kata Prasetyo di Kompleks Istana Kepresidenan Jakarta, Selasa (28/4/2015).

Proses Peradilan yang Panjang
            Tertangkapnya sembilan WN Australia mungkin melegakan pihak AFP karena tugas mereka berhasil. Namun ketika proses hukum mulai berjalan pada 11 Oktober 2005 di Pengadilan Negeri (PN) Denpasar tidak berjalan mulus. Ketika itu proses pengadilan sering kali batal dan tertunda karena terdakwa sering beralasan sakit.
            Usaha mengekstradisi sembilan terdakwa Bali Nine pernah diupayakan pengacara Australia, Robert Richter dan Brian Walters pada 6 Desember 2005 dengan meminta dukungan Direktur Penuntut Umum Commonwaelth.

Saling Tuduh dan Cari Selamat
            Sembilan terdakwa Bali Nine selain sering beralasan sakit juga mulai mengaku mendapat ancaman pembunuhan dari Andrew Chan bila tak mau menjadi kurir narkoba. Lawrence dan Stephens memberikan bukti dan foto keluarga mereka yang mendapatkan ancaman pembunuhan kepada pengadilan Denpasar.
(MSR)


Sumber :
http://news.okezone.com/read/2015/04/28/337/1141389/jalan-terjal-eksekusi-mati-jilid-ii

Ulasan :
            Menurut pendapat saya ini hukuman yang setimpal untuk mereka yang melakukan pengedaran sejenis narkotika melihat pa yang mereka edarkan banyak korban yang terjerumus dalam obat-obatan terlarang tersebut.

            Melihat dari hubungan liberal antara indonesia dengan beberapa negara luar memang hukuman ini menjadi kecaman bagi negara lain yang terlalu membela pengedar narkoba dengan alasan HAM, tetapi mereka tidak melihat sisi positif dari hukuman mati terhadap pidana mati narkoba. Andai semua negara luar menerapkan hukuman pidana mati terhadap kasus pidana narkoba ini akan mejadi suatu kecaman bagi pengedar narkoba yang selama ini menikmati kehidupan di atas penderitaan orang lain yaitu korban pecandu narkoba sendiri.
            sekian ulasan dari saya mohon maaf jika ada tutur kata yang kurang berkenan dan terima kasih .
            Wassalamu'alaikum warohmatullohi wabarokatuh.......